Kaya Setelah Diusir Mertua Pdf
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
"Eh ... eh ..., mau ngapain kamu?" Tiba-tiba Kak Norma menghadangku untuk berjalan ke ruang tamu. "Mau antar minuman untuk tamu-tamu ibu, Kak." "Halaah! Bilang aja kamu mau nguping sekalian cari muka. Iya, kan?" sanggah Kak Lina-kakak iparku. "Cari muka terus kamu sama ibu, ya!" lanjutnya lagi dengan wajah sinis. "Kamu mau curi-curi informasi warisan dari notaris yang sedang berbincang dengan Ibu itu, kan?" Kak Norma melotot seraya berkacak pinggang di depanku. Entah kenapa kedua kakak iparku itu selalu saja curiga padaku. Apalagi sejak meninggalnya Bang Irsan, suamiku. Mereka tidak pernah suka jika Ibbu mertuaku lebih perhatian padaku. "Ini ibu yang menyuruhku membuat minum untuk para tamunya , Kak." "Sudah-sudah sini biar aku aja yang antar ke depan!" Kak Norma langsung mengambil alih nampan yang berisi tiga gelas teh di tanganku. "Hei Salma! Asal kamu tau ya, kamu tidak akan mendapat warisan sedikitpun. Jadi jangan pernah mimpi bisa hidup enak setelah ibu membagikan warisan seharga milyaran in!" bisik Kak Lina dengan senyum kemenangan. Aku terhenyak mendengar ucapan Kak Lina. Begitu serakahnya dia. Padahal Kak Lina dan Kak Norma juga menantu sepertiku. Hanya saja suami mereka masih hidup. Sejak Bang Irsan pergi untuk selama-lamanya delapan bulan yang lalu, meninggalkan aku yang sedang hamil tua. Aku tetap tinggal di rumah besar ini bersama ibu mertua dan ipar-iparku. Ibu melarangku pergi karena aku tidak punya keluarga lain di kota ini. Kedua orang tuaku pun sudah sejak lama tiada. "Ngapain lagi kamu di sini? Sana ke dapur! Kita udah pada lapar."Bentakan Kak Norma membuyarkan lamunanku.. Aku berlari mendengar tangisan anakku dari kamar belakang. Sejak sebulan yang lalu, Ibu memintaku untuk pindah ke kamar belakang persis di sebelah dapur. Karena Kak Norma dan suaminya-Bang Safwan memutuskan untuk pindah ke rumah ini. "Anak Bunda sudah bangun ..." Sontak Raihan terdiam ketika aku menggendongnya. Anak ini menunjuk-nunjuk keluar kamar. Mungkin dia merasakan tidak nyaman berada di kamar yang sempit dan pengap ini. Kamar ini memang dulunya adalah gudang. Dan sekarang menjadi kamarku. Sambil menggendong Raihan dengan kain panjang yang kuikat kencang, Aku meracik bahan makanan yang sudah aku beli sejak subuh tadi. Ketika hendak menyalakan kompor, Aku ingin menitipkan Raihan pada salah satu iparku. Anakku ini sudah mulai aktif. Apapun yang berada didekatnya, hendak diraihnya. Aku ragu ketika ingin menghampiri mereka yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Sepertinya ada hal penting yang mereka bicarakan dengan tamu Ibu tadi yang konon katanya adalah seorang notaris. "Ada apa, Salma?" Aku terlonjak ternyata Bang Adam, kakak tertua suamiku itu tiba-tiba sudah berada di belakangku. "T-tidak apa-apa, Bang. Tadinya saya mau menitipkan Raihan. Tapi sepertinya di ruang tamu semua sedang serius," sahutku. "Sudah sini sama Ayah Adam aja, yuk!" Laki-laki itu langsung meraih Raihan dari gendonganku.. Raihan pun tampak kegirangan saat akan di gendong pamannya. Bang Adam, walau pendiam tapi sangat perhatian pada Raihan. Padahal dia sendiri hingga kini belum menikah. "Terima kasih, Bang!" Gegas aku kembali ke dapur dan menyelesaikan tugasku memasak. Selagi Raihan tidak rewel. Bakwan goreng, oseng cumi jamur, sambal dadakan dan tumis kangkung sudah siap. Aku kembali ke ruang tamu untuk mengintip apakah Raihan rewel. Namun ternyata bocah kecil itu masih tenang berada di pangkuan Bang Adam sambil memakan biskuit. Aku terkikik dalam hati melihat kaos Bang Adam menjadi kotor terkena noda biskuit dari mulut Raihan. "Ngapain kamu senyum-senyum di situ, haa? Pake ngintip-ngintip segala. Nguping terus kamu!" Lagi-lagi Kak Norma yang sudah berada di belakangku merasa curiga. Aku menggeleng. "Aku hanya melihat Raihan aja, Kak. Takutnya rewel." sahutku. "Awas kamu macam-macam ya! Masih bagus kamu nggak diusir dari rumah ini, dan kami masih memberikan tumpangan untuk tetap tinggal di sini," bentaknya pelan. Aku hanya bisa membuang napas kasar mendengar ucapannya. Perlahan aku kembali ke dapur hendak mencuci perlengkapan memasak yang kotor. Jadi selama ini mereka menganggap aku menumpang di sini. Seandainya orang tuaku masih ada. Sudah pasti aku akan pulang ke rumah mereka saja. Jika benar setelah rumah besar ini di jual, aku tidak mendapat hak warisan Bang irsan, Bagaimana kelanjutan hidupku nanti? "Aaa ...!" Tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam kamar ibu. Gegas mencuci tanganku yang bersabun, kemudian berlari ke kamar ibu yang berada di dekat ruang tamu. Ternyata di sana sudah ada Kak Norma dan Kak Lina yang memijit kaki ibu. "Ibu kenapa? Ibu jatuh?" tanyaku panik. Ibu merintih kesakitan seraya memegang kaki kirinya. "Ini dia orangnya, Bu. Dasar ceroboh! Atau kamu sengaja ya tumpahin minyak di pintu kamar ibu? Lihat, nih! kaki ibu langsung bengkak," sentak Kak Lina. "Minyak? minyak apa, Kak? Mana mungkin aku melakukan itu pada Ibu?"sahutku menahan tangis. Sungguh sakit sekali rasanya dituduh melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah kita lakukan. "Tadi aku pergokin kamu ngintip-ngintip kita di ruang tamu. Pasti kamu habis melakukan sesuatu yang mencurigakan. Ayo, ngaku aja kamu!" tuduh Kak Norma lagi. "Astaghfirullah ..., Kak. Tadi aku kan sudah bilang. Bahwa aku hanya memastikan Raihan tidak rewel." Lolos sudah air mataku. . "Sudah! Diam kamu salma! Ibu kecewa sama kamu. Sekarang juga pergi kamu dari sini!" Sungguh aku tak percaya. Ibu yang selama ini begitu baik padaku, dan sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri, kini memintaku pergi dari rumah ini. "Kamu tuli, ya? Buruan beresin baju-baju kamu dan cepat pergi dari sini!" Aku terlonjak ketika Bang Safwan juga membentakku. "Hei, ada apa ini?" tiba-tiba Bang Adam menghampiri. "Biarkan dia pergi, Bang Adam. Dia hampir saja membunuh ibumu ini," sahut Kak Lina. Aku segera ke kamarku dan memasukkan pakaianku dan Raihan ke dalam tas besar yang biasa Bang irsan pakai setiap bertugas keluar kota. Kemudian kembali ke kamar ibu dan meraih Raihan dari gendongan Bang Adam. "Jangan kamu bawa cucuku!" pinta ibu dengan suara bergetar. "Raihan masih minum ASI, Bu. Aku tidak mungkin meninggalkannya." Raihan merengek ketika aku menggendongnya dengan kain panjang dan melangkah keluar. Sepertinya anak ini ikut merasakan kesedihanku. Senyum puas dari ipar-iparku sempat terlihat ketika aku hendak meninggalkan rumah ini. Hanya Bang Adam yang nampak bingung. Namun laki-laki itu hanya diam menatap kepergianku dan Raihan. Kemana aku harus pergi?
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Aku berjalan menyusuri jalan tanpa tujuan. Derai air mata menemani langkahku. Aku tak peduli orang menatap heran ataupun iba padaku. Saat ini aku hanya mengikuti kemana kaki ini hendak membawaku. Entah bagaimana nasib anakku nanti. Saat ini aku hanya bisa berdoa. Semoga saja aku segera mendapat pekerjaan untuk melanjutkan hidup.
Aku tidak punya siapa-siapa di kota ini. Sejak kedua orang tuaku meninggal, aku hanya hidup sebatang kara. Beruntung aku bertemu dengan Bang Irsan. Laki-laki yang begitu baik dan menyayangiku. Hingga Bang Irsan menjadikan aku sebagai istrinya. Namun semua itu tak bertahan lama. Belum genap setahun kami menikah, Bang Irsan pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Sejak saat itu aku tinggal bersama ibu mertua dan ipar-iparku. Selama tinggal di sana, aku sadar diri tidak bisa membantu mencari nafkah. Semua biaya hidupku dan Raihan ditanggung oleh keluarga Ibu Mertua. Oleh sebab itu, aku tidak pernah membantah setiap apapun yang mereka suruh.
Bunda dulu pernah mengatakan bahwa ada sepupunya yang masih hidup. Namun hingga kini aku belum menemukan alamat tempat tinggalnya. Entah dimana mereka tinggal.
Tiba-tiba langkahku terhenti karena mendengar sesuatu.
"Tolong.., tolong Saya ...!"
Astaga! Tiba -tiba aku mendengar suara rintihan seseorang. Sepertinya dari gerobak yang berada tak jauh dariku.
Segera kupercepat langkahku. Aku terperanjat menemukan kakek-kakek tua sedang merintih kesakitan terbaring di dalam gerobak berisi buku-buku bekas dan botol air mineral bekas. Pakaian kakek itu robek, sepertinya baru saja tersangkut oleh sesuatu yang tajam. Sepertinya dia sangat lemas.
"Ya Allah ...! Bapak kenapa?" Jantungku berdegup kencang melihat kondisinya yang menyedihkan.
"Tolong saya, Nak!" lirihnya dengan suara yang sangat lemah.
Aku melihat sekelilingku sangat sepi. Namun bapak tua ini harus segera aku bawa ke puskesmas. Kebetulan puskesmas sudah tidak jauh dari sini.
Bismillah .... Beruntung Raihan sedang tertidur di gendonganku. Aku mengikat kain panjang penggendong Raihan lebih erat. Lalu meletakkan tas besarku di dalam gerobak, persis disamping kaki kakek tua itu.
Dengan sekuat tenaga aku mendorong gerobak itu melewati jalanan yang sepi. Sesekali ada yang lewat menatapku dengan heran. Entah kenapa orang-orang itu hanya melihat saja. Tak satupun dari mereka yang bertanya ataupun peduli dengan apa yang sedang aku lakukan ini. Andai saja ada yang membantu, tentu kakek ini akan lebih cepat tiba di puskesmas dan segera mendapat pertolongan.
Peluh menetes dari wajahku. Hingga hijab dan bajuku basah kuyup. Napasku memburu karena mendorong gerobak itu setengah berlari. Semoga saja belum terlambat.
"Bertahan ya, Pak! Kita akan segera tiba di Puskesmas!" Aku mencoba untuk memberi semangat pada Bapak tua itu.
Aku merasa lega saat melihat gerbang puskesmas sudah di depan mata. Kupercepat langkahku hingga menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar.
"Dokter ..., Suster ..., tolong !" Aku berteriak sekencang mungkin agar para petugas itu menghampiri.
"Ada apa, Mbak?" Salah seorang security tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Tolong kakek ini, Pak. Sepertinya sedang kesakitan."
"Astaghfirullahaladzim ...!" Security itu terkejut mellihat ada seorang kakek-kakek di dalam gerobak.
Dua orang security berusaha mengangkat kakek itu dari dalam gerobak dan membaringkannya di atas brankar. Seorang petugas puskesmas keluar dan ikut mendorong brankar kakek tua itu ke dalam ruang UGD
Aku duduk kelelahan di ruang tunggu pasien di depan poliklinik, seraya memangku Raihan yang sudah terjaga.
Aku kebingungan ketika Raihan menangis minta ASI.
"Maaf, Suster. Ada ruang untuk menyusui?"
"Ada, Bu. Silakan masuk saja ke ruang itu!"
Gegas aku melangkah menuju ruang tertutup yang ada di deretan ujung.
Raihan sangat kehausan. Bayi lucu dan montok ini meminum ASI cukup lama hingga tertidur kembali.
Setelah hampir satu jam, aku keluar dari ruang menyusui. Kemudian kembali ke ruang pemeriksaan.
Aku bertanya pada salah satu perawat.
"Suster, mana kakek-kakek yang tadi bersama saya? "
"Sudah pulang, Mbak."
"Pulang? Bukankah tadi beliau masih sakit?"
"Tadi ada anaknya yang menjemput ke sini."
Aku mengangguk mendengar penjelasan suster itu. Syukurlah kakek tua itu sudah bersama anaknya sekarang. Setidaknya beliau sudah ada yang mengurus
Tiba-tiba aku teringat dengan tas besarku yang berada di dalam gerobak sang kakek.
Saat aku keluar, gerobak itu masih ada dan tasku masih ada di dalamnya.
"Pak, gerobak kakek tadi kenapa tidak dibawa pulang?" tanyaku pada security yang berjaga di depan puskesmas.
"Orang si kakek pulang naik mobil bagus, Mbak. Itu gerobaknya buat Mbak sajalah!"
Ah, sudahlah. Yang penting si kakek sudah selamat.
Aku melihat kembali gerobak yang masih cukup bagus itu. Tiba-tiba aku ada ide. Segera aku lihat isinya. Masih sambil menggendong Raihan aku bersihkan dan rapikan gerobak itu. Kemudian menidurkan Raihan didalamnya dengan alas kain panjang.
"Pak, Saya boleh bermalam di depan puskesmas ini ? Satu malam saja, Pak. Biar nanti saya dan anak saya tidur di dalam gerobak ini."
"Kalau satu malam saja boleh, Mbak. Tapi jangan di sini. Di teras belakang saja.
Betapa senangnya aku mendengar jawaban bapak security itu.
"Kalau numpang ke kamar mandi boleh, Pak?"
"Silakan, Mbak. Kamar mandi yang di luar itu bisa untuk umum."
"Alhamdulilah. Terima kasih, Pak!"
Tak henti-hentinya aku bersyukur atas kemudahan yang Allah berikan.
Raihan pasti lapar. Sebentar lagi dia akan bangun dan minta makan. Kebetulan tadi aku lihat ada tukang bubur di depan gerbang puskesmas ini.
Gegas aku berlari menuju gerbang dan berteriak pada tukang bubur yang berada di seberang jalan.
"Buburnya satu porsi di bungkus, Pak!"
Kemudian aku kembali berlari ke gerobak, menengok Raihan yang ternyata masih tertidur pulas. Anak itu sudah mulai aktif. Aku tidak mau ambil resiko jika meninggalkannya walau hanya sebentar.
Tak lama bubur diantar oleh si tukang bubur, benar saja Raihan terjaga. Aku menyuapinya. Anak itu makan dengan lahap.
Raihan guling-guling dengan riang di dalam gerobak. Mungkin udara malam yang sejuk membuatnya nyaman. Krim anti nyamuk sudah aku oleskan pada tubuhku juga Raihan. Bagaimanapun juga malam ini kami tidur di luar. Pasti akan banyak nyamuk nanti malam.
Sambil berpikir apa yang akan aku lakukan besok, aku membuka tas besarku untuk mencari selimut untuk Raihan. Tiba-tiba mataku tertuju pada kantong samping tas ini yang nampak begitu tebal. Padahal aku sama sekali tidak mengisi apapun di situ.
Perlahan aku buka resleting tas itu. Nampak menyembul sebuah amplop coklat. Aku mulai mengeluarkan amplop yang berukuran cukup besar itu.
Apa kira-kira isi amplop itu ?
"Anakmu tidak apa-apa?" Spontan aku menoleh mendengar suara bariton yang sepertinya aku kenal. Mataku melebar saat melihat pria itu. Tiba,-tiba saja dadaku berdebar.
Astaga! Laki-laki yang menolongku barusan ternyata ... Tuan Yuda.
Kami sama-sama tersentak dan saling menatap beberapa saat. Kemudian tersadar dan saling membuang pandangan. Dadaku terus berdegup kencang.
"T-tidak apa-apa, Tuan. Terima kasih," sahutku tertunoiióì
Kenapa Tuan Yuda ada di sini? Ya Tuhan, Ada apa denganku? Ada debaran yang tak biasa yang aku rasakan saat ini. Tidak ...! Aku tidak boleh punya perasaan seperti ini. Sadarlah Salma! Kamu harus sadar diri!
"Mari saya antar ke depan lagi, Tuan." Entah sejak kapan, Bang Safwan ternyata sudah berdiri di dekat Tuan Yuda. Wajah kakak iparku itu nampak tak suka padaku.
Namun Tuan Yuda tidak menghiraukannya. Laki-laki itu masih menatapku. Namun aku tak berani membalas tatapannya yang semakin lekat. Detak jantungku terasa tak baik-baik saja di dalam sana.
Teringat dengan kardus yang dilempar Kak Norma tadi, segera berusaha kuraih dengan susah payah menggunakan sebelah tanganku. Kak Norma dan Ibu mertua hanya memandang sinis padaku. Padahal aku berharap mereka sedikit membantuku yang kesulitan meraih kardus itu. Karena aku harus menunduk atau berjongkok. Sedangkan saat ini aku sedang menggendong Raihan.
Sementara Raihan masih nampak gelisah dan mulai rewel karena terkejut dengan lemparan kardus tadi.
"Tunggu !" Yuda menghentikan gerakanku. Wajah pria itu nampak kesal melirik Kak Norma dan Ibu jjmertua.
"Ada apa, Tuan," tanyaku heran.
"Pak Diman, tolong antar wanita ini pulang!" Ternyata Yuda meminta supirnya untuk mengantarku pulang.
Apa aku tidak salah dengar?
"Baik Tuan", sahut seorang pria paruh baya yang dipanggil Pak Diman. Supir Yuda itu gegas melangkah menghampiriku.
Sementara Kak Norma terus memandang kesal padaku. Ibu pun terlihat heran karena sikap Yuda yang seolah-olah telah mengenalku. Wajah ibu mertuaku seperti ingin meminta penjelasan dariku. Namun aku masih berusaha menenangkan Raihan.
"Tidak usah repot-repot, Tuan. Biar saya saja yang antar Salma dan anaknya!"
Tiba-tiba saja Bang Adam keluar dari dalam. Laki-laki pendiam itu meraih kardusku yang tergeletak di bawah. Kak Norma dan Ibu mertuaku semakin melotot melihat sikap Bang Adam padaku.
"Ayo, Salma aku antar!" ajaknya seraya melangkah ke luar dengan wajah datar.
Sementara aku melihat ada aura kemarahan dari wajah Tuan tampan itu. Aku bergidiik ketika mendapatkan tatapan yang begitu tajam darinya.
Tuan Yuda, Ada apa denganmu? Apakah kamu juga merasakan apa yang sedang aku rasakan?
Aku melangkah tertunduk mengikuti Bang Adam yang sudah duduk di motornya.
Gegas aku naik ke motornya. Kuberanikan untuk menoleh ke belakang sekali lagi.
Ya Tuhan, ternyata Tuan Yuda masih menatapku. Tiba-tiba saja jantungku kembali berdegup kencang. Tanpa sadar kami terus saling menatap, hingga menghilang dari pandangan.
Bang Adam mengantarku sampai rumah. Bersyukur Raihan sudah kembali tenang dalam gendonganku. Saat turun, Kakak iparku itu membantu membawakan kardusku.
"M-maaf, Bang. Jika ada yang ingin dibicarakan. Di sini saja," sahutku ketika kami sudah berada di teras.
Bang Adam menghela napas kasar.
Kami pun duduk di kursi teras. Sepertinya ada hal penting yang hendak dia katakan.
"Setelah tanah warisan Ayah terjual, Aku akan usahakan agar Raihan mendapatkan haknya sebagai pewaris dari Irsan. Setelah itu ... izinkan aku membawamu pergi. Aku akan menjagamu dan Raihan."
Aku tercengang mendengar penuturan kakak iparku ini. Sungguh aku tak mengira Bang Adam membicarakan hal ini padaku.
"Maksud Abang, Apa itu artinya kita ..."
"Ya, aku akan menikahimu." Bang Adam menatapku begitu dalam.
Benarkah saat ini Bang Adam telah melamarku?
Aku menarik napas panjang, kemudian membuangnya perlahan. Entah kenapa aku biasa saja mendengar ucapan Bang Adam barusan. Mungkin tidak ada perasaan istimewa yang aku rasakan saat bersamanya. Namun Raihan, anak itu sangat dekat dengan Bang Adam. Raihan seperti menemukan sosok seorang Ayah pada diri Bang Adam. Terkadang aku pun sempat berpikir menerima semua kebaikan Bang Adam demi Raihan. Namun, bagaimana nanti dengan Ibu Mertuaku? Apa mereka sudi menerimaku kembali?
Lalu bagaimana dengan diriku yang terlanjur telah terluka oleh fitnah yang mereka ciptakan?
"Keluarga Abang tidak suka padaku," lirihku datar.
"Aku akan membawamu pergi dari mereka.'
Ternyata Bang Adam tidak main-main. Dia bicara sangat yakin dan antusias.
"Aku akan pikirkan lagi, Bang. Saat ini aku ingin berjuang sendiri dulu."
Bang adam terdiam. Raut kecewa terlihat jelas dari wajahnya yang hitam manis.
"Baiklah. Jaga dirimu dan Raihan baik-baik," ujarnya seraya mengacak-acak rambut Raihan.
Anak itu tampak senang dan selalu tersenyum setiap Bang Adam mendekatinya.
Pagi ini aku kembali berjualan di depan puskesmas. Semua masakan telah siap dan tersusun rapi di atas meja.
"Silakan nasi ramesnya, Pak, Bu. Sepuluh ribu aja!"
Hari ini aku buka lebih cepat. Pesanan nasi bungkus sudah aku antar. Pasien puskesmas sudah banyak yang antri. Pembeli mulai berdatangan. Beruntung Raihan tertidur di dalam gerobak dengan nyaman.
"Permisi, Neng ... " Tiba-tiba seorang Bapak tua menghampiriku.
Kenapa aku seperti mengenal bapak tua ini. Tapi entah di mana. Walau sudah tua, bapak ini terlihat sangat rapi dan bersih. Dari pakaiannya jelas beliau adalah orang berada.
"Apa ... Neng pernah tolong bapak-bapak tua di dalam gerobak?"
"Astaghfirullahaladzim ... Ini Bapak yang pernah saya tolong?" tanyaku antusias.
"Alhamdulilah. Akhirnya saya menemukan orang yang saya cari-cari sejak kemarin."
"Silakan duduk, Pak. Saya buatkan nasi ya, pak." ujarku seraya memberikan satu bangku plastik untuknya.
Dengan semangat aku menyendokkan sepiring nasi beserta lauk pauk untuk bapak ini. Tak lupa segelas teh hangat juga aku hidangkan.
"Silakan dicicipi, Pak"
"Wah, kelihatannya enak, nih!"
Aku tertawa. Rasanya sangat senang melihat bapak ini sudah sehat kembali.
"Ternyata kamu tidak hanya cantik, tapi hatimu juga sangat tulus, Nak. Kalau saja kamu tidak menolong Bapak waktu itu, entah bagaimana nasib Bapak sekarang."
"Sudah, Pak. Jangan dipikirkan. Yang terpenting Bapak sekarang sudah sehat lagi. Kalau boleh tau, apa yang terjadi pada Bapak waktu itu?"
"Bapak dirampok, Nak. Waktu itu Bapak mau menemui anak bapak. Tapi setelah turun dari taksi, beberapa orang menghadang dan merampas semuanya. Mereka memasukkan Bapak ke dalam sebuah gerobak. Bapak juga sempat mereka pukuli."
"Astaga ...! Tega sekali mereka itu," geramku.
"Salma, Kamu wanita baik. Saya akan kenalkan kamu dengan anak saya."
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Go where you want to go.
The happiest of people don’t necessarily ha the best of everything.
For only they can appreciate the import ance of people looking cause interesed.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same, they are changing.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
Even when our position and our character seem to remain precisely the same.
"Eh ... eh ..., mau ngapain kamu?" Tiba-tiba Kak Norma menghadangku untuk berjalan ke ruang tamu.
"Mau antar minuman untuk tamu-tamu ibu, Kak."
"Halaah! Bilang aja kamu mau nguping sekalian cari muka. Iya, kan?" sanggah Kak Lina-kakak iparku.
"Cari muka terus kamu sama ibu, ya!" lanjutnya lagi dengan wajah sinis.
"Kamu mau curi-curi informasi warisan dari notaris yang sedang berbincang dengan Ibu itu, kan?" Kak Norma melotot seraya berkacak pinggang di depanku.
Entah kenapa kedua kakak iparku itu selalu saja curiga padaku. Apalagi sejak meninggalnya Bang Irsan, suamiku. Mereka tidak pernah suka jika Ibbu mertuaku lebih perhatian padaku.
"Ini ibu yang menyuruhku membuat minum untuk para tamunya , Kak."
"Sudah-sudah sini biar aku aja yang antar ke depan!" Kak Norma langsung mengambil alih nampan yang berisi tiga gelas teh di tanganku.
"Hei Salma! Asal kamu tau ya, kamu tidak akan mendapat warisan sedikitpun. Jadi jangan pernah mimpi bisa hidup enak setelah ibu membagikan warisan seharga milyaran in!" bisik Kak Lina dengan senyum kemenangan.
Aku terhenyak mendengar ucapan Kak Lina. Begitu serakahnya dia. Padahal Kak Lina dan Kak Norma juga menantu sepertiku. Hanya saja suami mereka masih hidup.
Sejak Bang Irsan pergi untuk selama-lamanya delapan bulan yang lalu, meninggalkan aku yang sedang hamil tua. Aku tetap tinggal di rumah besar ini bersama ibu mertua dan ipar-iparku. Ibu melarangku pergi karena aku tidak punya keluarga lain di kota ini. Kedua orang tuaku pun sudah sejak lama tiada.
"Ngapain lagi kamu di sini? Sana ke dapur! Kita udah pada lapar."Bentakan Kak Norma membuyarkan lamunanku..
Aku berlari mendengar tangisan anakku dari kamar belakang. Sejak sebulan yang lalu, Ibu memintaku untuk pindah ke kamar belakang persis di sebelah dapur. Karena Kak Norma dan suaminya-Bang Safwan memutuskan untuk pindah ke rumah ini.
"Anak Bunda sudah bangun ..." Sontak Raihan terdiam ketika aku menggendongnya. Anak ini menunjuk-nunjuk keluar kamar. Mungkin dia merasakan tidak nyaman berada di kamar yang sempit dan pengap ini. Kamar ini memang dulunya adalah gudang. Dan sekarang menjadi kamarku.
Sambil menggendong Raihan dengan kain panjang yang kuikat kencang, Aku meracik bahan makanan yang sudah aku beli sejak subuh tadi.
Ketika hendak menyalakan kompor, Aku ingin menitipkan Raihan pada salah satu iparku. Anakku ini sudah mulai aktif. Apapun yang berada didekatnya, hendak diraihnya.
Aku ragu ketika ingin menghampiri mereka yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Sepertinya ada hal penting yang mereka bicarakan dengan tamu Ibu tadi yang konon katanya adalah seorang notaris.
"Ada apa, Salma?" Aku terlonjak ternyata Bang Adam, kakak tertua suamiku itu tiba-tiba sudah berada di belakangku.
"T-tidak apa-apa, Bang. Tadinya saya mau menitipkan Raihan. Tapi sepertinya di ruang tamu semua sedang serius," sahutku.
"Sudah sini sama Ayah Adam aja, yuk!" Laki-laki itu langsung meraih Raihan dari gendonganku.. Raihan pun tampak kegirangan saat akan di gendong pamannya.
Bang Adam, walau pendiam tapi sangat perhatian pada Raihan. Padahal dia sendiri hingga kini belum menikah.
"Terima kasih, Bang!"
Gegas aku kembali ke dapur dan menyelesaikan tugasku memasak. Selagi Raihan tidak rewel.
Bakwan goreng, oseng cumi jamur, sambal dadakan dan tumis kangkung sudah siap. Aku kembali ke ruang tamu untuk mengintip apakah Raihan rewel. Namun ternyata bocah kecil itu masih tenang berada di pangkuan Bang Adam sambil memakan biskuit. Aku terkikik dalam hati melihat kaos Bang Adam menjadi kotor terkena noda biskuit dari mulut Raihan.
"Ngapain kamu senyum-senyum di situ, haa? Pake ngintip-ngintip segala. Nguping terus kamu!" Lagi-lagi Kak Norma yang sudah berada di belakangku merasa curiga.
"Aku hanya melihat Raihan aja, Kak. Takutnya rewel." sahutku.
"Awas kamu macam-macam ya! Masih bagus kamu nggak diusir dari rumah ini, dan kami masih memberikan tumpangan untuk tetap tinggal di sini," bentaknya pelan.
Aku hanya bisa membuang napas kasar mendengar ucapannya.
Perlahan aku kembali ke dapur hendak mencuci perlengkapan memasak yang kotor.
Jadi selama ini mereka menganggap aku menumpang di sini. Seandainya orang tuaku masih ada. Sudah pasti aku akan pulang ke rumah mereka saja.
Jika benar setelah rumah besar ini di jual, aku tidak mendapat hak warisan Bang irsan, Bagaimana kelanjutan hidupku nanti?
"Aaa ...!" Tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam kamar ibu.
Gegas mencuci tanganku yang bersabun, kemudian berlari ke kamar ibu yang berada di dekat ruang tamu.
Ternyata di sana sudah ada Kak Norma dan Kak Lina yang memijit kaki ibu.
"Ibu kenapa? Ibu jatuh?" tanyaku panik.
Ibu merintih kesakitan seraya memegang kaki kirinya.
"Ini dia orangnya, Bu. Dasar ceroboh! Atau kamu sengaja ya tumpahin minyak di pintu kamar ibu? Lihat, nih! kaki ibu langsung bengkak," sentak Kak Lina.
"Minyak? minyak apa, Kak? Mana mungkin aku melakukan itu pada Ibu?"sahutku menahan tangis.
Sungguh sakit sekali rasanya dituduh melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah kita lakukan.
"Tadi aku pergokin kamu ngintip-ngintip kita di ruang tamu. Pasti kamu habis melakukan sesuatu yang mencurigakan. Ayo, ngaku aja kamu!" tuduh Kak Norma lagi.
"Astaghfirullah ..., Kak. Tadi aku kan sudah bilang. Bahwa aku hanya memastikan Raihan tidak rewel." Lolos sudah air mataku.
"Sudah! Diam kamu salma! Ibu kecewa sama kamu. Sekarang juga pergi kamu dari sini!"
Sungguh aku tak percaya. Ibu yang selama ini begitu baik padaku, dan sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri, kini memintaku pergi dari rumah ini.
"Kamu tuli, ya? Buruan beresin baju-baju kamu dan cepat pergi dari sini!" Aku terlonjak ketika Bang Safwan juga membentakku.
"Hei, ada apa ini?" tiba-tiba Bang Adam menghampiri.
"Biarkan dia pergi, Bang Adam. Dia hampir saja membunuh ibumu ini," sahut Kak Lina.
Aku segera ke kamarku dan memasukkan pakaianku dan Raihan ke dalam tas besar yang biasa Bang irsan pakai setiap bertugas keluar kota.
Kemudian kembali ke kamar ibu dan meraih Raihan dari gendongan Bang Adam.
"Jangan kamu bawa cucuku!" pinta ibu dengan suara bergetar.
"Raihan masih minum ASI, Bu. Aku tidak mungkin meninggalkannya."
Raihan merengek ketika aku menggendongnya dengan kain panjang dan melangkah keluar. Sepertinya anak ini ikut merasakan kesedihanku.
Senyum puas dari ipar-iparku sempat terlihat ketika aku hendak meninggalkan rumah ini. Hanya Bang Adam yang nampak bingung. Namun laki-laki itu hanya diam menatap kepergianku dan Raihan.
Kemana aku harus pergi?